WARTA-KELANA

Di sebuah kampung yang damai, di mana kehidupan berjalan dengan tenang dan harmonis, terdapat satu momen yang selalu menggugah perhatian. Saat pagi menjelang siang, seorang abang titil datang mengetuk pintu rumah-rumah penduduk. Dengan senyum hangat dan sapaan akrab, ia datang untuk menagih pembayaran dari para ibu-ibu yang sering kali berbelanja barang dagangan darinya. Namun, di balik senyuman itu, ada satu frasa yang sering kali terucap: "Enggak dulu."    Kata-kata "enggak dulu" bukanlah sekadar penolakan. Ia adalah ungkapan yang sarat makna, sebuah pengingat bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Para ibu di kampung ini, dengan segala kesibukan dan tanggung jawab yang mereka emban, sering kali mendapati diri mereka dalam situasi di mana keuangan harus diatur dengan bijaksana. "Enggak dulu" menjadi cara mereka untuk menunda pembayaran, bukan karena mereka tidak ingin membayar, tetapi karena mereka membutuhkan waktu lebih untuk mengatur segala...

Kehangatan Ibu dan Anak     Di sebuah sudut hangat di dalam rumah, terdapat sebuah momen yang penuh cinta dan kebahagiaan.  Seorang ibu yang cantik, dengan senyum yang memancarkan kasih sayang, duduk di meja kayu bersama anak laki-lakinya yang kecil. Anak tersebut, dengan mata besar yang penuh rasa ingin tahu, terlihat sangat terfokus pada tugas mereka saat ini: memperbaiki sebuah mobil mainan yang rusak. Mobil mainan itu, berwarna cerah dan penuh warna, tergeletak di atas meja.  Bagian-bagiannya tersebar di sekitar mereka, menunggu tangan-tangan terampil untuk merakitnya kembali.  Sang ibu, dengan tangan yang cekatan, mulai menyusun potongan-potongan mobil tersebut. Dia melakukannya dengan penuh kesabaran, memberikan petunjuk kepada anaknya sambil sesekali memberikan senyuman yang hangat, seolah-olah mengatakan bahwa setiap usaha dan kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Anak laki-laki itu mengamati setiap gerakan ibunya dengan raut wajah yang penuh rasa...