Enggak Dulu











Di sebuah kampung yang damai, di mana kehidupan berjalan dengan tenang dan harmonis, terdapat satu momen yang selalu menggugah perhatian. Saat pagi menjelang siang, seorang abang titil datang mengetuk pintu rumah-rumah penduduk. Dengan senyum hangat dan sapaan akrab, ia datang untuk menagih pembayaran dari para ibu-ibu yang sering kali berbelanja barang dagangan darinya. Namun, di balik senyuman itu, ada satu frasa yang sering kali terucap: "Enggak dulu." 

 

Kata-kata "enggak dulu" bukanlah sekadar penolakan. Ia adalah ungkapan yang sarat makna, sebuah pengingat bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Para ibu di kampung ini, dengan segala kesibukan dan tanggung jawab yang mereka emban, sering kali mendapati diri mereka dalam situasi di mana keuangan harus diatur dengan bijaksana. "Enggak dulu" menjadi cara mereka untuk menunda pembayaran, bukan karena mereka tidak ingin membayar, tetapi karena mereka membutuhkan waktu lebih untuk mengatur segalanya. 

 

Dalam momen-momen seperti ini, berbagai alasan muncul. Ada yang sedang menunggu hasil panen dari ladang yang mereka kelola. "Enggak dulu, Bang. Nanti kalau hasil panen sudah dijual, saya bayar ya," kata seorang ibu dengan harapan bahwa hasil yang dijanjikan akan segera tiba. Ada pula yang menunggu gaji suami mereka. "Enggak dulu, Bang. Suami saya baru gajian minggu depan, nanti saya bayar," ungkapnya dengan nada penuh pengertian. 

 

Tak jarang, situasi ini juga terjadi ketika mereka harus mengutamakan kebutuhan lainnya, seperti pendidikan anak. "Enggak dulu, Bang. Lagi banyak kebutuhan sekolah anak, nanti saya bayar kalau sudah ada uang lebih," jelas seorang ibu yang berusaha memprioritaskan masa depan anak-anaknya. 

 

Meskipun terdengar seperti penundaan, "enggak dulu" sebenarnya adalah sebuah janji. Ini adalah bentuk kepercayaan yang terjalin antara abang titil dan para ibu-ibu di kampung. Janji yang akan ditepati ketika waktu yang tepat tiba. Dalam setiap "enggak dulu," tersimpan harapan dan keyakinan bahwa mereka akan memenuhi tanggung jawab mereka. 

 

Kata-kata "enggak dulu" mencerminkan dinamika kehidupan di kampung. Ia menggambarkan bagaimana para ibu mengelola keuangan dengan cermat, sambil tetap menjaga hubungan baik dengan abang titil. Dalam setiap ungkapan itu, ada pengertian bahwa hidup kadang memerlukan penyesuaian, dan bahwa menunda bukan berarti menghindar. "Enggak dulu bukan berarti bukan dulu, namun berarti menunda, atau berjanji di lain waktu." 

 

Dengan demikian, "enggak dulu" menjadi bagian dari budaya yang mengajarkan arti kesabaran, pengertian, dan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari. Di balik kata-kata sederhana ini, tersimpan cerita-cerita kehidupan yang penuh makna, harapan, dan komitmen untuk saling menghormati dan mendukung satu sama lain di dalam komunitas.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gadis Muslimah Asia Tenggara

Kandovan

Gajah Betina dan Anaknya